Berbagi Ilmu
Sabtu, 01 Maret 2014
Kamis, 29 Agustus 2013
Gua Jatijajar
Gua Jatijajar adalah sebuah tempat wisata berupa gua
alam yang terletak di desa Jatijajar,
Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen. Gua ini terbentuk dari batu
kapur. Gua Jatijajar mempunyai panjang dari pintu masuk ke pintu keluar
sepanjang 250 meter. Lebar rata-rata 15 meter dan tinggi rata-rata 12 meter
sedangkan ketebalan langit-langit rata-rata 10 meter, dan ketingian dari
permukaan laut 50 meter.
Sejarah
Gua ini ditemukan oleh seorang
petani yang memiliki tanah di atas Gua tersebut yang Bernama
"Jayamenawi". Pada suatu ketika Jayamenawi sedang mengambil rumput,
kemudian jatuh kesebuah lobang, ternyata lobang itu adalah sebuah lobang
ventilasi yang ada di langit-langit Gua tersebut. Lobang ini mempunyai garis
tengah 4 meter dan tinggi dari tanah yang berada dibawahnya 24 meter.
Pada mulanya pintu-pintu Gua masih
tertutup oleh tanah. Maka setelah tanah yang menutupi dibongkar dan dibuang,
ketemulah pintu Gua yang sekarang untuk masuk. Karena di muka pintu Gua ada 2
pohon jati yang besar tumbuh sejajar, maka gua tersebut diberi nama Gua
Jatijajar (Versi ke I).
Sungai
dan mitos
Di dalam Gua Jatijajar terdapat 7
(tujuh) sungai atau sendang, tetapi yang data dicapai dengan mudah hanya 4
(empat) sungai yaitu:
- Sungai Puser Bumi
- Sungai Jombor
- Sungai Mawar
- Sungai Kantil
Untuk sungai Puser Bumi dan Jombor
konon airnya mempunyai khasiat dapat digunakan untuk segala macam tujuan
menurut kepercayaan masing-masing. Sedangkan Sungai Mawar konon airnya jika
untuk mandi atau mencuci muka, mempunyai khasiat bisa awet muda. Adapun Sendang
kantil jika airnya untuk cuci muka atau mandi, maka niat/cita-citanya akan mudah
tercapai.
Pada saat ini yang telah dibangun
baru Sendang Mawar dan Sendang Kantil, Sedangkan Sendang Jombor dan Sendang
Puser Bumi masih alami dan masih belum ada penerangan serta licin.
Obyek
wisata
Pada tahun 1975 Gua Jatijajar mulai
dibangun dan dikembangkan menjadi Objek Wisata. Adapun yang mempunyai ide untuk
mengembangkan atau membangun Gua Jatijajar yaitu Bapak Suparjo Rustam sewaktu
menjadi Gubernur Jawa Tengah. Sedang pada waktu itu yang menjadi Bupati Kebumen
adalah Bapak Supeno Suryodiprojo.
Untuk melancarkan dan melaksanakan
pengembangan Gua Jatijajar ditunjuk langsung oleh Bapak Suparjo Rustam cv.AIS
dari Yogyakarta, sebagai pimpinan dari cv.AIS adalah Bapak Saptoto, seorang
seniman deorama yang terkenal di Indonesia. Sebelum Pemda Kebumen melaksanakan
pembagunan Gua Jatijajar, terlebih dahulu Pemda Kebumen telah mengganti rugi
tanah penduduk yang terkena lokasi pembangunan Objek Wisata Gua Jatijajar
Seluas 5,5 hektar.
Setelah Gua Jatijajar dibangun maka
pengelolanya dikelola oleh Pemda Kebumen. Sejak Gua Jatijajar dibangun, di
dalam Gua Jatijajar sudah ditambah dengan bangunan-bangunan seni antara lain:
pemasangan lampu listrik sebagai penerangan, trap-trap beton untuk memberikan
kemudahan bagi para wisatawan yang masuk ke dalam Gua Jatijajar serta
pemasangan patung-patung atau deorama.
Batuan
Di dalam Gua Jatijajar banyak
terdapat Stalagmit
dan juga Pilar atau Tiang Kapur, yaitu pertemuan antara Stalagtit
dengan Stalagmit. Kesemuanya ini terbentuk dari endapan tetesan air hujan yang
sudah bereaksi dengan batu-batu kapur yang ditembusnya. Menurut penelitian para
ahli, untuk pembentukan Stalagtit itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Dalam
satu tahun terbentuknya Stalagtit paling tebal hanya setebal 1 (satu) cm saja.
Oleh sebab itu Gua Jatijajar merupakan gua Kapur yang sudah tua sekali.
Batu-batuan yang ada di Gua
Jatijajar merupakan batuan yang sudah tua sekali. Karena umur yang sudah tua
sekali itu, maka di muka Gua Jatijajar dibangun sebuah patung Binatang Purba
Dino Saurus sebagai simbol dari Objek Wisata Gua Jatijajar, dari mulut patung
itu keluar air dari Sendang Kantil dan sendang Mawar, yang sepanjang tahun
belum pernah kering. Sedangkan air yang keluar dari patung Dino Saurus tersebut
dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai pengairan sawah desa Jatijajar dan
sekitarnya.
Diorama
Diorama yang di pasang dan dalam Gua
Jatijajar ada 8 (delapan) deorama, yang patung-patungnya ada 32 buah.
Keseluruhannya mengisahkan cerita Legenda dari "Raden
Kamandaka - Lutung Kasarung".
Adapun kaitannya dengan Gua Jatijajar ialah, dahulu kala Gua Jatijajar pernah
digunakan untuk bertapa oleh Raden Kamandaka Putera Mahkota dari Kerajaan Pajajaran,
yang bernama aslinya Banyak Cokro atau Banyak Cakra.
Perlu diketahui bahwa zaman dahulu
sebagian dari wilayah Kabupaten Kebumen, adalah termasuk wilayah kekuasaan
Pajajaran, yang pusat pemerintahannya di Bogor (Batutulis) Jawa Barat.
Adapun batasnya yaitu Kali Lukulo
dari Kabupaten Kebumen sebelah Timur Kali Lukulo masuk ke wilayah Kerajaan
Mojopahit, sedangkan sebelah barat Kali Lukulo masuk wilayah Kerajaan
Pajajaran. Sedangkan cerita itu terjadinya di kabupaten Pasir Luhur, yaitu daerah
Baturaden atau Purwokerto pada abad ke-14. Namun keseluruhan dioramanya
dipasang di dalam Gua Jatijajar.
Benteng Van Der Wijck
Masih bersama wisata Kebumen. Kali ini
kita mengunjungi tempat bersejarah yang ada di kota Gombong. Bangunan
bersejarah ini kini telah di renovasi dengan sangat apik. Benteng Van der Wijck
dibangun pada awal abad 19 atau sekitar tahun 1820-an, bersamaan
meluasnya pemberontakan Diponegoro. Pemberontakan ini ternyata sangat
merepotkan pemerintah kolonial Belanda karena Diponegoro didukung
beberapa tokoh elit di Jawa bagian Selatan. Maka dari itu Belanda lalu
menerapkan taktik benteng stelsel yaitu daerah yang dikuasai segera
dibangun benteng. Tokoh yang memprakarsai pendirian benteng ini adalah
gubernur jenderal Van den Bosch. Tujuannya jelas sebagai tempat
pertahanan (sekaligus penyerangan) di daerah karesidenan Kedu Selatan.
Pada masa itu, banyak benteng yang dibangun dengan sistem kerja rodi
(kerja paksa) karena ada aturan bahwa penduduk harus membayar pajak
dalam bentuk tenaga kerja. Tentu saja cara ini membuat penduduk kita
makin menderita apalagi sebelumnya gubernur jenderal Deandels punya
proyek serupa yaitu jalan raya pos (Anyer-Penarukan, sepanjang 1.000
km), juga dengan kerja rodi.
Dilihat dari bentuk bangunan, pembangunannya sezaman dengan benteng
Willem (Ambarawa) dan Prins Oranje (Semarang kini sudah hancur). Pada
awal didirikan, benteng dengan tinggi tembok 10 m ini diberi nama Fort
Cochius (Benteng Cochius). Namanya diambil dari salah seorang perwira
militer Belanda (Frans David Cochius) yang pernah ditugaskan di daerah
Bagelen (salah wilayah karesidenan Kedu). Nama Van der Wijck,
yang tercantum pada bagian depan pintu masuk, merupakan salah seorang
perwira militer Belanda yang pernah menjadi komandan di Benteng
tersebut. Reputasi van der Wijck ini cukup cemerlang karena salah satu
jasanya adalah membungkam para pejuang Aceh, tentunya dengan cara yang
kejam.
Pada zaman Jepang, benteng ini dimanfaatkan sebagai barak dan tempat latihan para pejuang PETA.
Dilihat dari fisiknya, bangunan yang
luasnya 3.606,62 m2 ini sudah mengalami renovasi yang cukup bagus.
Sayangnya renovasi ini kurang memperhatikan kaidah konservasi bangunan
bersejarah mengingat bangunan ini potensial sebagai salah satu warisan
budaya (cultural heritage).
Benteng Van der Wijck mempunyai dua lantai yang mempunyai ukuran sama besar.
Luas Benteng Atas: 3.606,625 m2
Luas Benteng Bawah: 3.606,625 m2
Tinggi benteng: 9,67 m
Di tambah dengan cerobong setinggi 3,33 m.
Mempunyai barak yang masing- masing berukuran 7,5 x 11,32 meter. Dan ketebalan benteng 1,32 meter.
Luas Benteng Atas: 3.606,625 m2
Luas Benteng Bawah: 3.606,625 m2
Tinggi benteng: 9,67 m
Di tambah dengan cerobong setinggi 3,33 m.
Mempunyai barak yang masing- masing berukuran 7,5 x 11,32 meter. Dan ketebalan benteng 1,32 meter.
Jumat, 16 Agustus 2013
Lawang Sewu
.
OBJEK
WISATA LAWANG SEWU
Hari Sabtu, tanggal 15
Juni 2013 kami berziaroh ke Semarang,disamping berziaroh kami juga mengadakan
kunjungan ke Lawang Sewu. Ini adalah kesempatan pertama kami untuk mengunjungi Lawang Sewu.
Kira-kira pukul 09.00 WIB,
kami sampai di Lawang Sewu. Lawang Sewu ini adalah bangunan besar bergaya kolonial dan memiliki
banyak jendela. Anggun sekali dan mirip
kantor pusatnya PTPN IV yang berada di Medan.Cerita mistis yang menyelimuti
gedung seribu pintu ini pun sudah sering kami dengar, malah ada yang
menyampaikan kalau gedung ini tidak hanya dikenal dengan gedung seribu pintu,
namun juga seribu hantu. Alangkah
menyenangkan bila kami berkesempatan untuk mengunjungi gedung yang satu ini.
Sebelum masuk ke dalam Lawang Sewu,kami melihatlihat dulu denah tentang Lawang
Sewu ini.
Lawang Sewu, gedung
seribu pintu dengan berbagai cerita mistis yang melatarinya adalah bekas kantor pusat Nederlands-Indische
Spoorweg Maatschappij atau NIS, jawatan kereta api Belanda yang beroperasi di
Semarang. Dirancang oleh Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Ouendag,
arsitek yang berdomisili di Amsterdam pada tahun 1903, pembangunan gedung ini
dimulai pada 27 Februari 1904 dan selesai pada 01 Juli 1907. Gedung ini pun menjadi saksi bisu perjalanan
perjuangan bangsa ini dalam meraih kemerdekaannya. Bila dimasa penjajahan Belanda gedung ini
difungsikan sebagai kantor pusat jawatan kereta api, maka ketika Jepang
menduduki Republik ini di tahun 1940-an gedung ini diperuntukkan sebagai markas
Kempetai, Polisi Militer Jepang yang terkenal sadis dan kejam, serta Kidobutai, tentara kerajaan
Jepang. Gedung ini pun tercatat sebagai
lokasi pertempuran hebat selama 5 hari antara Angkatan Muda Kereta Api (AMKA),
BKR, AMRI dan beberapa organisasi kepemudaan lainnya dengan Kempetai dan
Kidobutai yang dimulai pada 15 Oktober 1945 untuk melucuti tentara Jepang yang
telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Setelah kemerdekaan gedung ini dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta
Api Repoeblik Indonesia, lalu Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer dan
Kantor Wilayah Kementerian Perhubungan.
Saat ini Lawang Sewu sedang direnovasi dan direvitalisasi oleh Unit
Pelestarian Benda dan Bangunan PT KAI.
Beberapa ruangan bahkan telah
difungsikan sebagai ruang peraga museum kereta api. Kemudian,kami pun memulai
berkeliling di gedung yang bersejarah ini.
Walaupun sore hari, namun kami pribadi merasakan suasana yang
berbeda. Menyeramkan. Mungkin itulah kata – kata yang tepat mewakili
apa yang kami rasakan siang itu. Tidak
terbayangkan keadaannya di malam hari.
Secara umum terdapat 4 gedung di kawasan Lawang Sewu ini, yang pertama
adalah gedung A yang merupakan gedung yang dapat anda lihat dari jalan. Menurut tour
guide yang mendampingi kami, gedung ini masih tertutup untuk umum karena
masih dilakukan renovasi. Tampilan
luarnya sudah cukup baik dan terawat.
Gedung kedua adalah
Gedung B. Gedung ini pun sebenarnya
belum pulih benar dari renovasi dan revitalisasi yang dilakukan, namun sudah
difungsikan dan terbuka untuk umum.
Entah kenapa, ketika melangkahkan kaki ke dalam gedung ini tiba – tiba
saja bulu kuduk kami meremang. Seperti
ada gelombang elektromagnetik dalam skala besar yang tidak kasat mata di depan
kami. Namun, mungkin itu hanya perasaan
kami saja. Lorong di depan gedung B ini
sudah bersih dengan jendela – jendela tinggi dan besar menghiasinya.
Di dalamnya beberapa ruangan telah difungsikan sebagai
ruang pamer untuk foto – foto jadul tentang sejarah perkereta apian bangsa
ini. Selain itu pula terdapat maket
Lawang Sewu yang dapat anda lihat disini.
Iseng kami bertanya kepada pemandu kami, apakah memang pintu di Lawang
Sewu ini berjumlah 1000 ? Sang Pemandu
pun menjawab dengan yakin kalau tidak berjumlah 1000 maka tidak dinamakan
Lawang Sewu. Namun menurut beberapa informasi
di situs internet tidak ada yang mengetahui pasti jumlah pintu di Lawang Sewu. Kami
berpikir angka 1000 atau sewu disini mungkin dimaksudkan untuk menyebutkan
bahwa jumlah pintu di tempat ini banyak sekali. Jadi, simpelnya dikatakan sewu
saja.
Sang pemandu pun mengatakan kepada kami dan rombongan kalau di bawah gedung
ini terdapat terowongan yang awalnya berfungsi untuk membuat ruangan yang
berada di atasnya menjadi lebih sejuk yang kemudian berubah fungsi menjadi
penjara di kala pendudukan Jepang. Kami
kemudian ingat kalau terowongan atau ruangan bawah tanah itu pernah digunakan
oleh salah satu reality show televisi
swasta untuk lokasi uji nyali.
Setelah puas melihat – lihat di lantai 1, kami
dan rombongan pun diajak untuk melihat ruangan yang berada di lantai 2. Namun sebelum menaiki tangga menuju ke lantai
2, Sang Pemandu mengajak kami untuk melihat ruang atau celah sempit ke
terowongan atau ruang bawah tana h yang sebelumnya diceritakan. Celah
sempit tersebut berada di bawah tangga dan tidak begitu mencolok
keberadaannya. Tiba – tiba kami
merasakan terpaan gelombang yang tak kasat mata menghantam badan ini. Bau
pengap yang khas pun serta merta sampai di hidung kami, bersamaan dengan terpaan
gelombang tadi. Tour Guide kami menawarkan apabila ingin merasakan sensasi uji
nyali, maka kami boleh turun ke dalam terowongan atau ruangan bawah tanah dari
pintu yang sudah disediakan di bagian belakang dari gedung ini
Suasana di lantai 2 ini pun ternyata lebih menyeramkan dibandingkan suasana
di lantai 1. Mata kami pun tiba – tiba tertuju kepada lorong panjang di lantai
2 ini. Menurut pemandu kami, mereka biasa menyebut lorong tersebut dengan
lorong misteri. Dari pengakuan beberapa
pengunjung yang cukup sensitif dan memiliki kemampuan supranatural, lorong ini
berisi korban – korban pembantaian yang tidak dapat beristirahat dengan
tenang.
Kami pun melanjutkan berkeliling ke arah luar atau lorong di lantai 2
ini. Tour
guide kami menunjukkan beberapa tempat yang biasa dipergunakan pen gunjung untuk
berfoto. Salah satunya adalah skycross antara gedung B ke gedung
A. Dengan latar belakang gedung A yang
menawan, di lokasi ini kami memutuskan untuk berfoto sejenak. Selain skycross,
lorong di lantai 2 pun spot yang
menarik untuk diabadikan. Tour guide pun
kemudian menunjukkan lorong yang disebut sebagai lorong kereta api, dimana
pintu – pintu ruangan di lantai 2 gedung B ini seperti berbaris memanjang ke
belakang.
Setelah lorong kereta api
tadi,kami pun kembali ke lorong misteri.
Di sini kami berkesempatan untuk mengabadikan arsitekturnya yang kuno,
menawan dan misteri. Tour guide kami pun
kemudian membawa kami ke ruangan besar dan panjang di lantai 2 ini. Dahulunya dipergunakan oleh petinggi –
petinggi Belanda sebagai ruang dansa.
Namun, entah kenapa, kami merasa ruang ini dingin dan mencekam. Ruangan
ini di jaman Jepang dipergunakan untuk ruangan penyiksaan dan pembantaian orang
– orang Belanda yang tertangkap serta para gerilyawan dan pejuang kemerdekaan.
Selanjutnya kami pun dibawa ke bagian belakang dari ruangan ini. Terdapat tangga untu menuju ke loteng
gedung. Sekali lagi kami kembali
terkesiap secara tiba – tiba. Ada
perasaan yang mencekam luar biasa yang kami rasakan ketika memandang ke arah
loteng. Sebelum mengakhiri perjalanan berkeliling di Lawang Sewu, khususnya di
Gedung B, tour guide kami mengajak ke
salah satu ruangan yang letaknya di bagian belakang gedung B dan berada di
lantai 1 yang dipergunakan untuk menuju ke ruangan bawah tanah atau
terowongan. Mata kami tertuju kepada
pengumuman yang tertempel di dinding ruangan yang melarang seluruh kegiatan
yang berbau mistis dilakukan di areal Lawang Sewu. Disebelah pengumuman tersebut terdapat pintu
dengan anak tangga yang menuju ke bawah.
Pengap sekali udara di sekitar tempat ini. Beberapa pengunjung baru saja keluar dari
pintu itu dan mengg unakan sepatu bot tinggi sebetis untuk menerobos genangan air yang
tingginya sekitar 20 – 25 cm.
Gedung ketiga di areal
Lawang Sewu adalah Gedung C. Ukurannya
lebih kecil bila dibandingkan dengan Gedung A dan Gedung B. Gedung C sendiri telah direnovasi dan
dipergunakan sebagai museum kereta api.
Anda dapat membaca sejarah gedung Lawang Sewu ini ketika memasuki pintu
depan gedung ini. Gedung ini terdiri
dari beberapa ruangan, dimana ruangan utamanya yang luas dipergunakan sebagai
ruang pamer beberapa photo berukuran poster dan tertempel di dindingnya serta
beberapa peralatan pengatur rel atau jalur kereta api kuno peninggalan
Belanda. Ruang lainnya lebih kecil namun
kami tidak sempat untuk melihatnya karena keterbatasan waktu kunjungan
kami. Secuil cerita misteri yang boleh
dipercaya atau tidak dari pemandu kami adalah penguasa gaib areal Lawang Sewu
terdapat di Gedung C ini, bersosok bule Belanda dan bernama Van den Bosch. Masih menurut tour guide yang mendampingi kami, untuk penghuni gaib di areal
Lawang Sewu memiliki kasta – kasta dimana kasta tertinggi menghuni Gedung
C. Entah karena lebih berpendidikan atau
karena memang tampilan yang lebih bersahabat hasil renovasi, Gedung C ini sama
sekali tidak seram dan mencekam.Berbeda jauh auranya dengan Gedung B yang
mencekam dan penuh misteri.
Lawatan kami di Lawang Sewu pun ditutup dengan
mengunjungi toilet jadul peninggalan kolonial. Secara umum toilet ini
sudah selesai direnovasi dan tampilannya sudah lebih rapi serta
bersahabat. Terdapat 4 washtafel kuno segi empat berukuran besar di kiri
dan kanan sisi dinding toilet. Teman – teman saya menyempatkan untuk
mencuci tangan dan membasuh wajah mereka di sini. Selain washtafel,
di toilet ini juga anda akan mendapati urinoir jadul terbuat dari keramik
dengan ukuran besar dan tinggi bila dibandingkan dengan urinoir jaman sekarang
ini. Sekali lagi, walaupun telah direnovasi sedemikian rupa sehingga
tampilannya lebih layak dan bersahabat, namun kesan seram masih lekat di toilet
ini.
Di akhir kunjungan saya merasa
senang karena telah mengetuhui banyak tentang bangunan Lawang Sewu dan itu
membuat pengetahuan saya bertambah. Walaupun bangunan ini tampak seram namun di
dalamnya terdapat banyak bearang-barang yang pantut untuk dipelajari. Begitu
pun, saya berencana kembali lagi ke Lawang Sewu bila ada kesempatan mengunjungi
Semarang untuk bisa menggali sejarahnya lebih banyak lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)